1. Kamu hendaklah sentiasa berada dalam majlis para ulama' dan dengarlah kata-kata para hukama'(orang yang bijaksana),
kerana Allah menghidupkan jiwa yang mati dengan hikmat sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang mati dengan hujan yang lebat.
2. Berkawan dan hampirilah ulama' serta duduk dan ziarahilah rumah mereka agar kamu akan menjadi seumpama mereka. Sentiasalah
bersama-sama mereka dan tumpanglah kebaikan mereka. Kemungkinan besar apabila Allah menurunkan kebaikan kepada mereka, kamu
turut merasai nikmat itu. 3. Sekiranya engkau seorang yang soleh, jauhilah dirimu daripada orang yang buruk budi pekerti
dan keras kepala kerana ditakuti apabila diturunkan bala Allah, engkau turut menjadi mangsanya. -Luqman Hakim 4. Janganlah
engkau menjadi lemah daripada seekor ayam jantan, ia telah berkokok pada waktu pagi hari sedangkan engkau pada ketika itu
masih terbaring di atas katilmu. 5. Jangan sekali-kali engkau menangguhkan taubat kepada Allah kerana mati itu akan datang
bila-bila masa sahaja. 6. Dunia ini bagaikan lautan yang dalam yang mana sudah ramai mereka yang sudah ditenggelamkannya.
Oleh itu, jadikanlah taqwa sebagai kapalnya dan iman pula sebagai air yang menyirami tanaman.
7. Pukulan bapa ke atas anaknya bagaikan air yang menyirami tanaman. 8. iga orang yang tidak dapat dikenali
melainkan pada tiga keadaan iaitu: a.Orang yang lemah lembut melainkan ketika marah. b.Orang yang berani melainkan
ketika berperang. c. Saudara maramu melainkan ketika engkau berhajat dan memerlukan pertolongan daripada mereka. 9.
Sesungguhnya dunia ini sedikit sahaja, sedangkan keseluruhan umurmu lebih sedikit daripada itu. Manakala umurmu yang masih
lagi berbaki amat sedikit daripada yang lebih sedikit tadi. 10.Tanda-tanda seorang pendengki itu ada tiga iaitu: a.
Mengumpat kawannya apabila ketiadaan kawan mereka. b. Memuji-muji kawannya apabila berada berasama mereka. c. Merasa
gembira jika kawannya ditimpa bala.
Syekh Nur Al-Din Al-Raniri (Bag. 5)
Oleh : Abd. Maqsith Ghazali/Abdul Hanif*)
Pengaruh Al-Raniri
Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih
(ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika
dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan
praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek
syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya
(Azra: 1994).
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan
Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi
masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan
Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya
seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak
berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim
Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin
Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya (Azra: 1994).
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah.
paham immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah merupakan praktek sufi yang berlebihan.
Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara
antara manusia dan Tuhan terdapat hubunpn transenden.
Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan
Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab,
bahkan simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan
adanya keselarasan antara praktek mistik dan syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.
Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham
Asy'ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian
untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan
Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruanterutama dalam hal metodologi.
penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya
ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran
yang baru.
Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara
langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah
diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap
valid, karena belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari hubungan dan
jaringan Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli Nusantara yang
berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang
dari Nusantara yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim di Makkah dan Madinah (1621
M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.
Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di
wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan
pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan
sama sekah dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan Madinah
yang kemudian kembali ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di Indonesia.
Selain di bidang keagamaan, Al-Raniri juga seorang sastrawan yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.
Karya-karyanya banyak ditulis dalam. bahasa MelAyu, sehingga menjadikannya sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.
Bahkan, ketika itu, cara yang paling mudah untuk memahami ajaran agama Islam adalah dengan menguasai bahasa Melayu. Bersamaan
dengan populernya kitab kitab Al-Raniri yang berbabasa Melayu tersebut, bahasa Melayu telah diterima oleh masyarakat di kawasan
Asia Tenggara sebagai lingua franca (bersambung...)
|